Selasa, 29 April 2014

Saat ini, Demokrasi atau MoneyCrazy..?



Pemantau pemilu Kemitraan mengungkapkan, praktik politik uang pada Pemilu 2014 terjadi lebih masif, vulgar, dan brutal dibandingkan pemilu terdahulu. Bukan hanya melibatkan peserta pemilu dan pemilih, tetapi juga penyelenggara pemilu.
"Kami banyak mendengar dan menerima laporan, politik uang pada pemilu kali ini sangat masif, vulgar dan brutal. Bahkan, ada yang mengatakan paling brutal dan vulgar dibanding pemilu-pemilu sebelumnya," ujar Penasehat Pemantau Kemitraan Wahidah Suaib di Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jakarta Pusat, Senin (21/4/2014, kompas).
Dia mengatakan, berdasarkan laporan pemantau di lapangan, politik transaksional melibatkan partai, caleg, saksi partai, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan panitia pemungutan suara (PPS). Hal itu dilakukan untuk memenangkan caleg atau partai tertentu.
Wahidah juga mengatakan, hal tersebut jelas melanggar azas independensi dan profesionalisme yang mestinya dijunjung tinggi penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Politik tebar uang ini sangat memprihatinkan karena dilakukan secara terang-terangan dan parahnya sebagai suatu yang hal lazim.
Terkait politik uang yang makin menguat, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah membuat survei khusus untuk mengukur tingkat skala politik uang dalam pilkada. Survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada bulan Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling (MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang diberikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak 27,5% publik menyatakan akan menerima uang yang diberikan calon dan memilih calon yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun 2010.
Demikian pula persepsi public bahwa politik uang akan mempengaruhi pilihan atas kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun 2010.
(suarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang..).

 Sedangkan faktor yang menyebabkan poltik uang ini makin marak dan seperti lazim  sampai saat ini, menurut hasil survey dan diskusi adalah:
1. Masyaraakat  yang masih perlu uang karena kondisi ekonominya belum sejahtera.
2. Caleg yang memaksakan diri, tanpa melihat kemampuan riil.
3, Adanya investor atau botoh atau cukong yang siap mendanai si caleg , yang bila berhasil jadi anggota legislatif, si pemodal itu  akan mendapat proyek ( main mata )  dari pemda atau pemerintah pusat yang seharusnya ditender terbuka. Seperti diketahu anggota legislatif saat ini punya wewenang di anggaran APBD/APBN sampai sangat rinci.
4. Prakondisi di masyarakat dimana  banyak sekali pilkada menggunakan politik uang dan si pemain money politik tetap dapat berkuasa dengan nyaman.
5. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum pengadil pemilihan umum  telah tercoreng oleh kasus  suap yang mengenai langsung Puncak kekuasaan Mahkamah Konstitusi yaitu  Ketua Mahkamah Konstitusi.
5. Prakondisi di masyarakat oleh putusan -putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak MK menangani  sengketa hasil  Pilkada dari tahun 2008 ( baik diketuai Mahfud ataupun Akil ) yang  didalamnya terdapat politik uang, yaitu
  a. MK tidak merekomendasikan pengusutan politik uang ke polisi menjadi pidana dengan sangsi hukum yang berat  dan  hanya mendiskualifikasi ( menggugurkan ) peserta pilkada tersebut.
  b. Bila pihak penggugat  dan tergugat akhirnya terbukti di persidangan sama sama melakukan  politik uang gugatan cuma ditolak tapi tidak  ada sangsi hukum terhadap para  pelaku, dan tak ada diskualifikasi pada mereka.
  c. Putusan Mk untuk pemilihan ulang tidak ada sangsi diskualifikasi terhadap pelaku politik uang,atau menjadikannya pidana pemilu yang berujung diskualifikasi ,  dan ternyata pelaku kembali melakukan politik uang dengan modus yang berbeda.
Hal ini menjadikan persepsi di masyarakat bahwa politik uang itu adalah cara yang diperbolehkan dan pelaku tidak bisa dihukum dan  tak ada  sangsi.
Sehingga  apa yang bisa diharapkan dari anggota legsilatif hasil Pemilu 2014 ini ?
Pemilu saat ini lebih tepat dinyatakan sebagai pesta  MoneyCrazy daripada pesta Demokrasi.